Rabu, 27 Mei 2009

Penggunaan Informasi Oleh Orangtua Homeschooler: Bab 4

BAB 4

PEMBAHASAN

Data diperoleh melalui beberapa tahap. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah gabungan dari beberapa teknik untuk sumber yang sama (Triangulasi Teknik). Pembahasan dilakukan melalui dua tahap analisis: Analisis berdasarkan informan dan analisis berdasarkan unit analisis. Analisis pertama lebih menjelaskan detil individu informan, sedangkan analisis kedua memosisikan informan sebagai “orangtua homeschooler”. Dalam analisis kedua mungkin terjadi pengulangan pembahasan data. Namun poros pembahasan bukan kepada informan sebagai individu, tapi sebagai kelompok sosial.

Unit analisis atau kategorisasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Situasi Awal (pemahaman, latarbelakang dan hambatan),

2. Kebutuhan Informasi (Ragam/Subyek dan Saluran/ Sumber),

3. Sense-Making dan Unsense-Making (Pemikiran dan Gagasan)

4. Situasi Tujuan (keputusan, nilai dan dampaknya)

Situasi awal adalah situasi yang mencakup latarbelakang, pandangan, hambatan. Semua elemen pada situasi awal akan mempengaruhi pertanyaan dan masalah (kebutuhan informasi) didalam diri orangtua. Perbedaan dan kesamaan dalam latarbelakang, pandangan, profesi dan hambatan ini akan mempengaruhi perbedaan dan kesamaan kebutuhan informasi. Kebutuhan informasi adalah kesenjanan atau jurang antara situasi awal dengan situasi tujuan berupa keputusan (ketetapan hati) untuk ber-HS (atau tidak sekolah). Jurang ini dijembatani dengan membangun pengertian (sense making) berupa pemikiran dan gagasan dengan menggunakan beragam informasi yang diperoleh dari berbagai sumber informasi.

4.1. ANALISIS INFORMAN

Sebelum melakukan analisis berdasarkan kategori atau unit analisis, akan dilakukan analisis individual masing-masing informan secara detil. Informan penelitian ini ada 6 orang: YAK, NEL, HEH, SUA, EVR, dan DIS.

4.1.1 Informan YAK

YAK mempunyai latarbelakang kuat untuk melakukan HS. Beliau adalah seorang pedagog (pendidik) yang pernah mendirikan 3 sekolah. Dari pengalamannya itulah YAK memahami betul permasalahan dunia sekolah. Menurut YAK sekolah-sekolah yang ada terlalu mementingkan aksesoris dibandingkan memikirkan inti dari pendidikan.

“Saya berpikir, punya latar belakang kuat untuk menjalani pendidikan seperti ini ya. Jadi kan kita tahu pendidikan itu terutama di kota-kota besar, semakin bagus, semakin mahal.. Trus saya melihat juga, sekolah itu lebih banyak aksesoris dari pada inti belajar mengajar seperti apa sih.” (YAK)

YAK bukan sebatas pengamat dunia pendidikan belaka. Beliau adalah pelaku dan menjadi orang yang terlibat dalam administrasi dan kegiatan belajar mengajar di sekolah. YAK memiliki pandangan negatif terhadap fakta dunia sekolah.

“Sekolahan kok kaya gini.... Kok makin lama makin mahal ya pendidikan gitu..? Terus saya lihat. Melihat konsep, kok semakin kesini sekolah makin kaya bisnis ya..? Kayak bukulah. Saya kan wakil kepala sekolah. Tahu banget administrasi. Kok buku sudah 30 % dari penerbit, tapi kita bisa naikin juga gitu.... Trus kenapa sih anak harus belajar pakai meja-bangku. Setiap kita tahun ajaran baru beli meja-bangku satu pasang tuh 50000,- sampai 200000,- Jadi kaya gitu ya. Apa gak intinya, gimana kita ngajarin anak..itu kan intinya. Kalau itu buat Bu Yayah namanya aksesori.” (YAK)

Tidak cukup puas dengan penilaian awal. YAK bahkan berusaha melakukan studi banding dan mengamati fakta pendidikan di tempat lain.

“Sampai Bu Yayah studi banding ke sekolahnya Ciputra.. Gak ada kok disana bangku, nggak ada. Bangku paling meja bunder, sama bangku mini.... Trus saya pelajari ternyata hubungan antara guru ama murid itu dekat. Lho, dia kan bukan muslim, kenapa dia pakai sistem halaqoh gitu? Trus orangtua murid ke Arab Saudi. Disana mesjid adalah sekolah. Jadi, halaqoh-halaqoh gitu kan.” (YAK)

Dalam diri YAK mulai muncul ‘jurang’. ‘Jurang’ ini ditambah dengan kejadian yang menimpa YAK dan anak pertama beliau. Ternyata anak pertama beliau tidak bisa sekolah ditempat beliau mengajar. Padahal YAK termasuk orang yang mendirikan sekolah tersebut.

“Sampai kejadian anak saya 2001, 2002. Ketika Bilal, anak saya itu mau sekolah SDIT. Bilal itu kan mau sekolah SDIT. Dia mendaftar di sekolah yang saya buat gitu. Cuma saya itu pendiri disitu. Tapi tidak dimasukan dewan pendiri sama yayasan, dengan alasan macam-macam lah. Padahal kalau, saya kalau mau membuat sekolah itu ‘all out’. Sampai anak saya ditinggal jam 1, jam 2 malam. Tapi ketika anak saya masuk, ikut tes itu tidak diterima dengan alasan saya nggak punya uang. Karena memang saat itu 2002, krisis ekonomi tuh nimpa suami saya kerja. Jadi di PHK. Tambah kan gitu, yang buat sekolahan, jadi guru, malah anaknya gak bisa masuk gitu kan. Trus saya memutuskan berhenti sekolah disitu.” (YAK)

Kejadian semisal terulang lagi ketika anak kedua YAK ingin memasuki sekolah dasar.

“Akhirnya waktu Fida mau sekolah, saya mulai Januari saya mulai hunting. SDIT temen disini, SDIT mahal. Nanti kalau gak punya duit nungak2. Jadi malah nyusahin temen malah jadi masalah. Oh iya, saya terima itu.” (YAK)

Sekolah dalam pandangan YAK semakin terlihat seperti bisnis, dan beliau tidak sanggup membayar ‘investasi’ tersebut. Padahal YAK sebagai seorang pendidik memahami betul bahwa bekal yang didapat dari sekolah hanyalah sebagian kecil untuk menghadapi hidup.

“Bekalan-bekalan apa sih... Saya berfikir akademik itu dalam artian kurikulum yang dari pemerintah itu. Toh dalam kehidupan nanti yang dipakai hanya 20%. 80% adalah pengalaman atau percobaan-percobaan atau keterampilan apa sih yang diberikan orangtua untuk anak survive di zamannya nanti.” (YAK)

YAK coba mencari kemungkinan atau alternative lain bagi anaknya. Beliau berdiskusi dengan temannya yang kepala SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu).

“Mikir-mikir gitu, ngobrol sama Pak Kodrat, Udah bikin sekolah sendiri aja. Memang bisa? Bisa! Orang Bu Yayah bisa ngajar.” (YAK)

Selain dari teman se-profesi, YAK juga menggunakan sumber informasi lain seperti internet, buku, teman (psikolog), fakta sosial, pengalaman, dan naluri.

“Tahap pertama tahun tuh 2006 itu dari internet.” (YAK)

“Dari kuliah, dari buku, dari internet, Ini, situasi dan kondisi yang memaksa saya HS. Pengalaman2 pendidikan.” (YAK)

“Dari temen-temen. Bu, trus yang Bu Yayah atasi anak tuh berhasil. Ini loh Bu Yayah ini sebenernya namanya.. Bu Yayah baca perkembanan anak.” (YAK)

“Gak tau deh, Bu Yayah sih nalurinya kita mau sama2 enak aja. Jadi jangan mengecewakan dia. Jadi kita harus ceritakan.” (YAK)

Setelah mendapatkan informasi, YAK berusaha untuk memaknainya (sense-making). Akhirnya YAK memutuskan untuk menjadi guru bagi anak-anaknya. YAK membangun ‘jembatan’ dan berhasil memaknai arti pendidikan anak dan peran orangtua.

“Itu saya waktu itu merasa saya punya kemampuan. Saya punya waku. Saya punya kemauan untuk mengajar anak saya sendiri. Itu intinya! Ya saya ingin membimbing anak-anak itu yang menurut saya pribadi, Saya punya kapasitas disitu. Untuk mendidik anak, yang saya tahu masih dalam jalur batas apa pengalaman saya mengajar di sekolah fullday school, islamic fullday school. Saya juga bisa menerapin itu dirumah gitu. Bener-bener fullday dirumah, tanpa...tergantung kita mau mahal, mahal, mau nggak ya nggak. Itu kita yg memanaj, kalau kita ke sekolah kan sekolah yang memanaj. Kalau ini orangtua yang memanaj. Diri kita sendiri dan anak-anak kita.” (YAK)

“Ke Negeri saya gak sanggup ngelihat sistemnya. Ke Swasta, sekolah berbasis Islam gak sanggup masalah biayanya. Tapi saya tahu konsepnya. Saya tahu kurikulumnya. Ya jadi saya ajarin aja.” (YAK)

Hasilnya adalah keputusan untuk ber-HS. Konsep HS menurut YAK adalah “bagaimana mendidik dan mengajar anak di dalam rumah ya, diajar sendiri oleh orangtuanya dengan memakai kurikulum tertentu yang dapat menghantarkan anak-anak kita itu ke tujuan pendidikan yang sebenarnya, yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak dan kebutuhan orangtua, untuk masa depan anak itu sendiri.”

4.1.2. Informan NEL

NEL memiliki latarbelakang aktifis LSM Anak. Menurut NEL anak memiliki hak untuk bebas dan enjoy. Setiap anak memiliki potensi yang berbeda-beda. Untuk mengembangkan potensinya, anak butuh waktu dan pengajaran khusus. Sedangkan sekolah tidak cocok untuk anak yang berkebutuhan khusus.

“...Konsep HS itu bagaimana mendidik dan mengajar anak di dalam rumah ya, diajar sendiri oleh orangtuanya dengan memakai kurikulum tertentu yang dapat menghantarkan anak-anak kita itu ke tujuan pendidikan yang sebenarnya, yang seusai dengan kebutuhan perkembangan anak dan kebutuhan orangtua, untuk masa depan anak itu sendiri. Saya melihat bahwa suasana pendidikan kita itu sudah demikian memberatkan murid, kurikulum pendidikan kita terutama gitu ya. Jadi, banyak sekali mata pelajaran- mata pelajaran yang dibebankan kepada anak. Jadi beban itu terlalu banyak. Mata pelajarannya lebih banyak, kalau menurut saya.” (NEL)

NEL merasa berdosa jika tidak bisa memberikan ruang yang lebih banyak bagi anaknya untuk mengembangkan potensi.

“Saya merasa mengkhianati anak saya, seandainya saya tidak, seandainya saya tidak, apa namanya...memberikan ruang bagi perkembangan potensi dia, gitu loh. Saya merasa berdosa saja. Bahwa anak-anak kan punya banyak apa namanya potensi. Tidak semua anak itu potensinya sama. Pasti berbeda-beda. Jadi saya ingin memberikan ruang yang lebih banyak kepada anak untuk, apa namanya, dia bisa berekspresi, dia bisa enjoy dengan apa yang dia pelajari. Juga punya visi kedepan yang jelas gitu kan. Saya bisa membayangkan kita ditempatkan di sebuah pekerjaan atau menekuni pekerjaan rutinitas yang itu-itu saja. Sebenernya kita tidak sukai. Betapa kita tersiksa diri kita?!” (NEL)

Lebih jauh tentang perasaan berdosa dan pengkhianatan terhadap anak, NEL menjelaskan:

“Allah itu kan sudah menganugerahkan potensi pada setiap orang itu berbeda-beda. Misalnya gini... Anak saya punya hobi mengarang. Anak saya punya hobi di bidang seni, tetapi saya memaksakan dia untuk belajar matematik, belajar fisika, kimia, yang buat dia rumit. Saya merasa dosa, saya merasa mengkhianati anak saya. Kenapa saya tidak mendukung anak saya untuk belajar seni. Dan itu bisa menunjang kehidupannya gitu. Dia bisa enjoy, dia bisa menikmati hidupnya, tidak tersiksa. Itu yang saya maksud.” (NEL)

NEL sudah mengetahui dan memahami pilihan alternatif (HS) untuk pendidikan anak. Akan tetapi karena belum populer NEL belum berani mengambil keputusan itu.

“Jadi, makanya, wacana itu sebenarnya sudah ada dari dulu. Tapi saya belum berani gitu kan. Belum beraninya ya karena sistem pendidikan di negara kita kan, masih kayanya HS itu masih merupakan wacana yang aneh ya, atau asing ya buat di negara kita. Jadi saya belum berani. Jadi, dulu hanya konsep-konsep saya. Nah, pada saat anak pertama itu sebenarnya saya sudah kepikiran HS, tapi saya melihat kok belum banyak ya yang Homeschooler.” (NEL)

NEL membutuhkan informasi tentang HS. Mengetahui keberadaan para homeschooler atau komunitas HS menjadi cukup penting. Ada banyak masalah yang muncul di masyarakat ketika sosialisasi tentang HS kurang.

“Kalau komunitas bisa saya cari di internet. Sebenernya, yang paling utama adalah saya melihat di sistem pendidikan Indonesia kok kayaknya HS itu gak terlalu popular ya.” (NEL)

“Ya, Masalahnya karena ini gak umum, ngapain kok macem-macem! Udah lah nanti mengalami kesulitan...gimana nanti ujiannya?! Gimana nanti...Banyak sekali. Terutama dari orangtua saya. Karena ini aneh itu lho. Mungkin sosialisai HS kurang. Pengakuan HS dari pemerintah juga nggak begitu bagus ya kalau saya ngelihat.” (NEL)

Memang ada banyak masalah, tapi bagi NEL yang terpenting adalah pengakuan dari masyarakat (keumuman) dan pengakuan dari pemerintah (legalitas).

Pada saat orang- orang lain sekolah, anak saya tidak. Itu memang cukup ini ya..cukup ini ya, cukup mengganggu perasaan, baik anak saya maupun saya. Dan terutama yang mengganggu itu ketidakpastian masa depan.. Artinya ketidakpastian ee.. Karena saya kan sifatnya masih uji coba ya.... Nah kekhawatiran2 kesana yang sebenarnya cukup mengganggu. Apakah ini ada pengakuan gak?! Lebih kepada sisi legalitas! Kekhawatiran itu lebih kepada sisi legalitas.” (NEL)

“Gimana ya saya juga masih, masih bingung. Itu karena pendidikan di negara kita yang tidak mengakomodir homeschooling.” (NEL)

Ada ‘jurang’ antara apa yang diinginkan dengan pandangan NEL terhadap fakta sosial dan sistem pendidikan. NEL berusaha ‘menjembatani’ masalah ini dengan membaca buku, bertanya dan berkomunikasi dengan para homeschooler dan orangtua mereka. Karena sudah bergabung dengan komunitas HS, NEL pun sering berkonsultasi dengan pengurus komunitas.

Saya lebih banyak membaca buku-buku. Trus berkomunikasi dengan para homeschooler gitu. Dengan orangtua-orangtua homeschooler. Jadi, saya banyak ketemu homeschooler. Saya bertanya mereka... Itu ke…Ya, ke Bu Yayah aja, ke Bu Yayah di Jakarta. Jadi saya suka nanya. Kayak ibaratnya di suntik lagi kesana. Kalau udah lama gak ketemu apa namanya..ya cukup, saya cukup merasa terganggu, gitu kan.” (NEL)

Kadang-kadang saja dari Bu Yayah, selebihnya harus proaktif sendiri mencari informasi. (NEL – Kuisioner)

NEL juga menggunakan internet sebagai sumber informasi.

Saya dari internet, kemudian dari teman... Selanjutnya saya ke internet, Searching-searching.” (NEL)

4.1.3. Informan HEH

HEH adalah seorang konsultan pendidikan. Beliau banyak menemukan dan menangani kasus di bidang pendidikan. Fakta sosial dan sistem pendidikan dalam pandangan HEH banyak yang tidak sesuai dengan konsep dan cara berpikirnya.

“karena saya melihat banyak hal yang tidak sesuai dengan konsep, ya cara berpikir saya disekolah umum ya kondisi pendidikan di Indonesia sekarang ini.” (HEH)

Menurut HEH, setiap anak diciptakan untuk menjadi khalifah atau pemimpin yang handal dalam bidangnya masing-masing. Sehingga urusan mendidik anak berarti urusan membimbing ke arah spesialisasi.

“Setiap anak itu adalah kalau dari Islam itu kan khalifah ya.. Setiap manusia itu diturunkan sebagai khalifah di muka bumi. Khalifah itu sendiri saya terjemahkan sebagai, bahwa kita semua itu menjadi orang-orang yang nanti kelak akan diposisikan menjadi pemimpin-pemimpin di bidangnya masing-masing. Pemimpin-pemimpin di bidangnya masing-masing itu yang seperti apa, Tentunya pemimpin yang handal dong, tidak menjadi pemimpin yang asal-asalan gitu, yang spesial. Kita atau anak-anak kita itu punya spesialisasi. Sehingga sebetulnya anak-anak kita harus dibimbing ke arah yang menjadi yang spesial dibidangnya masing-masing. Sehingga nanti dia menjadi pemimpin di bidangnya masing-masing.” (HEH)

Menurut HEH, orangtua harus mampu mengidentifikasi potensi unggul anaknya. Ini adalah tanggungjawab dan tugas orangtua. Dari potensi unggul itulah nantinya spesialisasi yang dinyatakan sebelumnya akan tercapai. Jadi, jangan menuntut anak “menjadi rata-rata”.

“Nah, disitulah tanggungjawab orangtua atau apa ya disebut juga sebagai tugas orangtua untuk mengidentifikasi eee potensi unggulnya tadi. Karena ya itu tadi banyak terjadi orangtua hanya maunya bisanya memaksa.” (HEH)

“Keinginan anak tersebut sebetulnya kan keinginan dari dalam gitu kan.. Sehingga yaa..terjadilah seperti sekarang ini.. sekolah yang..apa adanya.. Kita dituntut untuk meraih nilai disemua bidang sama-sama harus bagus gitu kan. Sehingga dituntut jadi anak-anak rata-rata gitu bukan anak-anak yang spesial.” (HEH)

HEH mengalami benturan dengan keluarga. Mereka melihat keputusan HEH aneh. Tapi HEH tidak melihat hal itu. Contohnya dalam masalah sosialisasi yang sering dipertanyakan kepada HEH. Benturan dan pertanyaan seperti ini membuat HEH merasa harus membuktikan ketepatan pilihan dan keputusannya. HEH menuntut dirinya harus banyak belajar dan membuka referensi.

“Masalah mungkin kita berbenturan dengan keluarga, lingkungan. Pasti ya mereka melihat; iihh aneh gitu. Terus kita terus dicecer. Dan bahkan banyak ya, gimana sosialisasinya?! Itu yang sering dipertanyakan kepada kami disini. Kalau HS itu kelemahannya sosialisasi. Padahal saya gak melihat itu. Jadi itu sih yang terberat. Kemudian mungkin ketika saya karena belum banyak orang yang melakukan HS. Saya harus lebih apa namanya membuktikan. Jadi saya harus banyak belajar, membuka referensi, terus saya harus banyak berhubungan dengan.. Terus menelusuri. Kebetuhan ya anak saya apa ya... kemana?!. Itu yang banyak menguras energi juga sih ya.” (HEH)

“...Karena dari situ juga saya mengambil sisi positifnya. Bahwa kalau begitu jadi saya harus membuktikan dan harus bisa menghasilkan anak yang...(berkualitas, red)” (HEH)

Saat HEH menyatakan bahwa ia harus banyak belajar dan membuka referensi, sesungguhnya itu bukan hanya untuk ‘menjembatan jurang’ yang ada pada dirinya. Beliau juga banyak ‘menjembatani jurang’ yang ada pada oranglain.

“Menyelesaikan masalah, saya berikan pengertian aja. Dan, ternyata mereka akhirnya setuju. Dan merasa, Oh bener juga ya. Karena kan saya menjelaskan fakta-fakta gitu ya. Dan mereka akhirnya salut gitu lah istilahnya mungkin. Wah, Berani gitu lah. Berani dengan tindakan. Akhirnya sebetulnya banyak orang jadi terpengaruh gitu ya. Ada yang akhirnya mau ikut.” (HEH)

“Karena saya juga kan kebetulan konsultan lah ya jadinya. Jadi banyak orang yang kemudian membawa masalah, bercerita tentang kasus-kasus anaknya yang dialami di sekolah. Mereka juga ketika saya berikan masukan, dan mereka inikan. Ada yang kemudian tetap bertahan disekolah dengan beberapa solusi. Ada yang ya sudah, saya juga mau HS saja. Begitu.” (HEH)

Selain membaca buku dan membuka referensi, HEH juga mencari informasi dari sumber-sumber lain seperti internet, fakta sosial, media, pengalaman oranglain (klien).

“Apalagi dengan adanya internet. Internet itu selalu saya inikan gitu ya setiap hari saya cari informasi.... Cari di Google aja. Trus kan, nanti ketemu ada Blog. Ada keluarga HS bikin Blog. Sekarang apalagi ada Facebook gitu ya.” (HEH)

“...saya tidak bergabung di milis apapun. Tapi dari teman suka ngasih tahu. Suami tuh yang rajin ikutan milis. Tapi di kantor, di print dibawa, nih Bu. Banyak lah informasi sebetulnya. Tidak terlalu harus bingung.” (HEH)

“Saya, buku ya pasti. Kemudian saya, ya, fakta-fakta aja. Realitas di sekolah.” (HEH)

“Media , lapangan ya.. Karena saya juga kan kebetulan konsultan lah ya jadinya. Jadi banyak orang yang kemudian membawa masalah, bercerita tentang kasus-kasus anaknya yang dialami di sekolah.” (HEH)

4.1.4. Informan SUA

SUA adalah seorang enterpreneur diberbagai bidang. Dalam kesehariannya, kesibukan SUA sebagian besar aktivitas usaha perdagangan. SUA juga menjadi trainer dan motivator wirausaha di beberapa tempat. Latarbelakang dan pergaulan beliau sangat mempengaruhi pilihan pendidikan untuk anaknya.

SUA belajar dari sejarah para ulama Islam, dan menjadikannya sebagai rujukan. SUA kisah para ulama terdahulu adalah ‘kiblat’ dalam metode mendidik anak.

“Artinya, ya kalau kita mengiblat. Sebenarnya saya hanya saya hanya mengiblat ke ulama-ulama terdahulu. Ulama-ulama Islam. Kenapa orangtuanya ulama atau orangtuanya ini orang yang berilmu, kemudian anaknya bisa menjadi ulama yang lebih besar dari orangtuanya. Ternyata ini sumbernya adalah orangtua ini mengajarkan kepada anaknya sendiri. Kemudian bekal-bekalnya udah cukup, baru anaknya dilepas. Melepasnya tentunya dengan mereferensi anak ini maunya kemana. Kemudian ditunjukan kepada ulama inilah yang ahli di bidang tertentu.” (SUA)

Menurut SUA, pendidikan seharusnya jalan untuk menyelesaikan problem kehidupan.

“Dan yang penting lagi yaitu membekali anak ini dengan bekal dasar yaitu bekal tentang; bagaimana menyelesaikan problem-problem kehidupan. Yang diawali dengan bagaimana anak ini memahami tentang kehidupan itu sendiri dan problem-problem apa yang akan muncul. Kemudian solusi-solusi apa yang harus dia ketahui.” (SUA)

Dan hal ini, menurut SUA tidak bisa kecuali dengan agama. Artinya pendidikan bukan hanya tidak boleh terpisah dari agama, tapi lebih dari itu harus diawali dan dijiwai oleh agama.

“Dan ini hanya bisa dipelajari yaitu dengan belajar agama. Karena saya seorang muslim yang saya ajarkan adalah aturan-aturan yang berada di agama Islam ini menjadi dasar. Yang bersumber dari Alquran. Maka alquran jadi kewajiban untuk dijadikan menyatu dalam diri anak ini.” (SUA)

Namun, fakta pendidikan yang ada justru tidak menyelesaikan problem kehidupan. Itu artinya pendidikan yang ada saat ini tidak membuat agama “menyatu dalam diri” anak didik. Menurut SUA, “sistem pendidikannya salah”. Sehingga bukannya menyelesaikan masalah, malah menghasilkan generasi yang bermasalah (tidak memiliki bekal) dan menjadi beban.

“Sehingga ketika, faktanya ketika lulus itu tidak akan mendapatkan apa-apa. Dan siswa didik ini tidak bisa memecahkan problem kehidupannya. Yang ada hanya menambahkan problema. Contohnya, lulusan SMA mereka nganggur banyak, mungkin bisa di prosentasekan itu ya hampir 90% lah! Itu kalau, siswa SMA sudah lulus kemudian mereka menganggur. Nah ini, mereka mengalami problem. Setelah menganggur mereka mengalami problem. Ilmu yang didapat di pendidikan, disekolah itu tidak bisa meng-cover problemnya ini. Tidak bisa mencari jalan keluar. Kenapa? Ini sistem pendidikannya salah.” (SUA)

“Jadi gambaran saya setelah melihat fakta pendidikan sekarang seperti itu; yang tidak mampu menghasilkan generasi yang baik. Malah generasi yang justru jadi beban.” (SUA)

Dari hasil pengamatan pun diketahui bahwa ada kejadian ‘negatif’ yang menimpa anak dan keponakan SUA di dunia sekolah. Sejak awal tahun ajaran baru lalu, anak dan keponakan SUA beliau tarik dari sekolah. Anak SUA hingga kini masih membenci guru Taman Kanak-Kanak-nya, karena perlakuan yang kurang mendidik, yang membuat dia sakit hati. Kemudian status kesiswaan keponakannya pun masih belum jelas. Keponakan SUA kini sedang mengikuti pelatihan keterampilan otomotif, dan meninggalkan sekolahnya tanpa ‘berpamitan’.

Lulusan-lulusan pendidikan formal saat ini hanya dapat mengandalkan bekal ijazah. Ini juga terjadi pada diri SUA.

“Kok saya kuliah sampai seperti ini. Kok ilmunya yang saya dapatkan tidak bisa mengover tentang problem2 yang saya rasakan, yang saya hadapi. Paling-paling saya bisa menghadapi problem itu seperti anak lulusan SMP. Misalnya, saya untuk mendapatkan uang, saya harus ngelamar kerjaan, membuat pekerja..membuat lamaran kemudian mengirim terus kemudian ikut tes. Dan itu gak ada bedanya sarjana dan yang lulusan SMP.” (SUA)

“Kalau bekalnya hanya ijazah TK, ijazah SD, ijazah SMP, ijazah SMA, ijazah sarjana gak ada gunanya nanti. Mereka sama saja dengan yang ijazah SMP. Tetep saja ketika ditanya, Setelah lulus kuliah mau apa? “Ya mau membuat lamaran. Kemudian ngelamar ke perusahaan, kemudian ikut tes”. Ya kalau tidak lulus gimana? “Ya nunggu ada peluang lagi”. Jawaban seperti ini sama, lulusan SD, SMP, SMA, Sarjana sama.” (SUA)

Menurut SUA, pendidikan yang benar adalah yang mengajarkan agama, dan membekali anak dengan alat, yaitu kemampuan bahasa dan keterampilan menggunakan teknologi informasi.

“Maka, kalau bisa saya berikan gambaran; bagaimana silabusnya? Ya kita harus mengajarin anak ini yang pertama ‘baca-hitung-tulis’. Kemudian Al Quran. Al-quran kalau bisa di tahfidz, dihafalkan. Kemudian bahasa arab, dan bahasa inggris, kemudian yang terakhir IT. Setelah menguasai itu anak ini baru bisa dilepas. Silahkan sekarang kamu milih mana? Kalau dia kepingin mempelajari ilmu Matematika. Baru mereka bisa belajar cosinus-tangen. Tapi ilmu dasarnya sudah punya; yaitu berhitung itu. Nanti yang lainnya bisa dia pelajari sendiri, misalnya lewat internet. Banyak sekali, dan untuk zaman sekarang ini, mudah. Mudah sekali. Asalkan alatnya punya.” (SUA)

Lulusan “pendidikan yang salah” ini menjadikan tingginya tingkat pendidikan (formal) tidak menjamin yang bersangkutan mampu menyelesaikan masalah. Menurut SUA, fakta dilapangan menunjukkan kemampuan menyelesaikan problem kehidupan tidak sejalan dengan tingkat pendidikan (formal). Demikian juga dengan tingkat kekayaan (harta). Padahal yang selama ini sering digembar-gemborkan “pendidikan adalah investasi”. Kemudian pendidikan juga akan memperbaiki kualitas hidup manusia. Tapi menurut SUA faktanya tidak seperti itu.

“Dan ternyata didalam problem ekonomi ini, ternyata yang mampu bersaing itu bukan orang-orang yang dulu ijazahnya, nilainya misalnya 9 (sembilan) semua. Tidak seperti itu! Justru mereka yang bisa melakukan persaingan dalam kehidupan ini, terutama dalam masalah ekonomi ini tidak tidak berbading lurus dengan orang-orang yang dulu kuliahnya cum laude.” (SUA)

“Bahkan kalau kita ukur orang-orang yang kekayaannya atau dalam kehidupan materinya itu banyak yang berasal dari sisi pendidikan formalnya tidak tinggi. Kalau misalnya di UI ada profesor doktor, misalnya. Itu kita lihat rumahnya, mobilnya kalah jauh dengan orang-orang yang hanya pedagang bakso yang udah terkenal. Mereka yang punya usaha rumah makan. Itu justru lebih menyelesaikan urusan kehidupan ini.” (SUA)

Dalam pandangan SUA yang punya kesibukan usaha yang bermacam-macam ini, kekayaan atau harta adalah solusi untuk menyelesaikan problem kehidupan di era kapitalisme (sekarang).

“Sebagian besar urusan kehidupan ini kan bermuara pada materi kalau di dalam sistem kapitalis yang seperti sekarang ini. Kalau materinya kurang ya dia tidak akan bisa mendapatkan apa-apa.” (SUA)

“Karena zaman sekarang ini bohonglah kalau orang tidak punya biaya. Bisa mengakses ilmu dengan baik. Itu hanya slogan saja ..!!!” (SUA)

SUA berusaha melakukan kajian terhadap fakta pendidikan yang ada saat ini dan membandingkannya dengan sejarah para ulama Islam zaman dahulu.

“Saya memahami melihat fakta seperti itu. Oleh karena itu saya, ketika memahami fakta seperti itu, saya mengkaji gitu. Kajian saya terhadap beberapa permasalahan pendidikan ini. Kalau kita merujuk lagi ke zaman-zaman terdahulu. Kenapa anak yang tidak pakai atau ada ulama yang terkenal mungkin sampai saat ini. Mereka ini tidak lulus dari institusi-institusi tertentu. Misalnya universitas ini, universitas ini. Tetapi namanya bisa besar. Bisa melebih orangtuanya kalau orangtuanya ulama.” (SUA)

Ulama terdahulu tidak mendidik anaknya di institusi, tapi didik sendiri (oleh orangtua). Setelah itu diberi rekomendasi untuk mendalami bidang tertentu.

“Kemudian saya merujuk lagi ke pandangan-pandangan ulama-ulama terdahulu. Ya hasilnya ternyata seperti itu. Ulama terdahulu tidak pernah mencari institusi; institusi pendidikan. Tapi didik sendiri oleh suami, oleh istrinya. Kemudian ketika bekalnya sudah cukup. Mereka dilepas, direferensi. Silahkan kamu datang ke ulama ini, untuk mempelajari ilmu ini. Ke ulama itu untuk memperlajari ilmu yang lain.” (SUA)

“Saat sebenarnya, pemahaman ini muncul tidak begitu saja. Pertama, saya apa mengidentifikasi fakta ya. Fakta pendidikan yang ada di Indonesa ini. Ketika saya melakukan proses pendidikan itu dan mengalami proses pendidikan itu. Ternyata orangtua ketika mendidik anaknya lebih dipercayakan kepada institusi atau kepada orang-orang lain gitu. Terutama yang orang yang sudah dikenal dalam sebuah institusi tertentu.” (SUA)

Dengan sejarah itu, SUA berusaha membangun ‘jembatan’. Kemudian beliau juga mencari informasi yang ‘current’ (terkini) di dunia usaha.

“Kemudian saya banyak bergaul dengan orang-orang yang menggeluti wirausaha. Orang-orang yang berkecimpung dan semangat wirausahanya tinggi. Dari situlah akhirnya saya mendapatkan pemikiran mendapatkan masukan-masukan. Ternyata ijazah yang menjadi simbol-simbol seseorang itu mempunyai strata tertentu, itu ternyata tidak dominan gitu, tidak menentukan. Jadi seperti itu. Jadi ijazah itu tidak menentukan.” (SUA)

Sumber-sumber informasi lain yang digunakan SUA untuk membangun-pengertian (sense-making) dalam pendidikan anak adalah pengalaman, kajian keislaman dan buku motivasi.

“Ya jadi, ketika...sebenarnya ini pengalaman pribadi ya. Ketika saya menjalani hidup ini banyak problem yang harus saya hadapi.” (SUA)

“Pemahaman ini muncul tidak begitu saja. Pertama, saya apa mengidentifikasi fakta ya. Fakta pendidikan yang ada di Indonesa ini. Ketika saya melakukan proses pendidikan itu dan mengalami proses pendidikan itu. Ternyata orangtua ketika mendidik anaknya lebih dipercayakan kepada institusi atau kepada orang-orang lain gitu.” (SUA)

“Tetapi untuk memunculkan pemikiran-pemikiran seperti ini saya banyak di warnai dari kajian-kajian, dari buku tentang keislaman dan tokoh-tokoh pemain pada zaman kejayaan islam itu. Kemudian kalau dari buku-buku yang lain, yaitu dari buku-buku motivasi. Buku-buku motivasi wirausaha.” (SUA)

Akhir dari sense-making SUA menghasilkan sebuah nilai yang beliau gunakan untuk pendidikan anaknya. Setelah membangun ‘jembatan’ dari informasi masa lalu (sejarah), dan informasi dunia usaha terkini, SUA merumuskan konsep pendidikan dasar sebagai pembekalan ‘alat’ (bahasa dan IT).

“Makanya saya membuat analisa kemudian memutuskan anak saya harus, generasi sesudah saya ini harus beda pendidikanya. Sehingga bisa menghadapi tantangan zaman kedepan ini yang semakin berat, dibandingkan dengan zaman saya sekarang ini.” (SUA)

“Lha itu saya belajar kesana. Ternyata dari situ konsepnya adalah, kalau misalnya di Indonesia ini harus diberikan pendidikan itu harus diberikan pendidikan dasar. Pendidikan dasar itu adalah satu alat, yaitu bahasa. Alat itu bahasa. Yang kedua kalau zaman sekarang itu IT (teknologi informasi). IT itu merupakan bahasa, ee alat! Jadi alat itu ada 2 (dua), bahasa dan IT.” (SUA)

“Bahwa generasi mendatang itu harus seperti ini. Yaitu yang punya motivasi yang tinggi, punya keyakinan yang kuat, punya alat yang cukup untuk mencari sumber informasi, menguasai IT yang memudahkan dia untuk berhubungan dengan dunia-dunia yang lain gitu, untuk wilayah-wilayah yang lain itu hanya dengan IT” (SUA)

4.1.5. Informan EVR

EVR adalah Ibu Rumah Tangga yang pernah punya pengalaman mengajar di TK. Berasal dari keluarga guru dan pendidik. Lulus dari sekolah kimia dan pernah masuk ke dunia industri yang menurutnya tidak cocok untuk perempuan. EVR bertanggungjawab atas pendidikan adiknya.

Menurut EVR, sekolah berbeda dengan pendidikan. EVR merasa kasihan dengan mereka yang sekolah.

“Kasihan aja sekarang sama anak-anak yang sekolah. [kenapa kasihan?] Capek. Iya pengalaman saya sekolah dulu aja. Iya aneh. Sekolah tuh Cuma kayak apa ya..Hmmm, Cuma sekolah. Jadi bukannya, bukan...gak terasa dididik.” (EVR)

Keinginan EVR dan konsep pendidikan yang beliau milik berbeda dengan yang ada di sekolah. Lingkungan yang kurang baik dan materi ajaran yang bertentangan dengan nilai dan pemahaman membuat EVR memilih untuk ‘tetap’ belajar dirumah (learning at home). Akan muncul ‘jurang’ dalam diri EVR jika memilih sekolah. Sedangkan situasi tujuan berupa nilai dan pemahaman bisa didapat dengan tetap di rumah.

Dari hasil beberapa obrolan dengan penulis, beberapa pandangan EVR adalah sebagai berikut:

  • Rumah adalah tempat tinggal anak, mereka hidup, belajar dan bermain didalamnya.
  • Sekolah adalah pilihan (alternatif), dan bukan keharusan.
  • Sistem pendidikan di Indonesia bertentangan dengan keyakinan beliau.

Dari beberapa pandangan EVR, maka pertanyaan wawancara dalam penelitian ini “Bagaimana bisa sampai memilih HS?” menjadi tidak tepat. Menurut pandangan EVR, keberadaan dirumah keadaan bukan tujuan. Dalam konteks penelitian ini, belajar dirumah (baca: homeschooling) adalah situasi awal sekaligus situasi tujuan. Oleh karena itu, sekolah bukan situasi tujuan. Pertanyaan kuisioner tentang alasan memilih HS pun cenderung dimaknai dengan “kenapa tidak sekolah”. Jadi, EVR tidak sedang berada dalam ‘situasi problematik’ ketika berhadapan dengan pilihan HS dan sekolah.

a. Independensi pendidikan

b. Kekecewaan terhadap kondisi sekolah yang ada

(EVR – Kuisioner : Alasan utama memilih HS)

Akan tetapi EVR tetap berada dalam ‘situasi problematik’ dalam hal penyusunan kurikulum dan pemilihan bahan ajar akademik untuk adiknya. Hal ini karena orangtua EVR tetap menginginkan pelajaran akademik untuk diajarkan kepada adik EVR. Sehingga ketika mengetahui ada sekolah yang terlihat/ terdengar bagus orangtua mulai tertarik untuk menyekolahkan adiknya.

“Akhirnya apa ya.. ngelihat ada banyak sekolah2 yang bagus gitu.. Oh ya udah coba aja ke sekolah. Udah masukin aja.” (EVR)

Kebutuhan informasi EVR dalam hal ini adalah informasi kondisian lingkungan, kurikulum, materi/bahan ajar (khususnya agama), komunitas belajar (komunitas HS), ijazah (tanda pengakuan) dan sosialisasi.

“Yang bagus kurikulumnya, lingkungannya. Pokoknya untuk pendidikan, untuk pendidikan anak.” (EVR)

“Bingung dengan, sebenarnya kebingungannya karena informasi yang minim tentang apa itu HS. Trus nanti gimana masalah ijazah, masalah legalitas dan lain-lain. Trus masalah sosialisasi anak dengan teman-temannya.” (EVR)

“Informasi yang dicari itu, kita sih ngelihat-ngelihat dulu komunitas-komunitas HS yang udah jalan.... Kita ngelihat formatnya kaya gimana. Terus ya lihat-lihat, untuk niru-niru. Terus itu cara-cara belajarnya gitu ngelihat gimana. Terus kalau informasi-informasi lain kayak ijazah juga dicari. Tentang legalitas jadi nanti, kan juga memepertanyakan nanti gimana. Nanti dapet tentang ijazahnya gimana untuk nandain dia udah menempuh jejang pendidikan ini, ini, gitu.” (EVR)

“Kalau pendidikan yang lain-lainnya misalnya aqidah gitu-gitu. Itu ya kita cari juga. Trus gimana... Apa ya... Untuk seusianya harusnya gimana... Kasih pendidikan akhlaq.” (EVR)

Sumber informasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut didapat dari buku, internet, radio, televisi, kawan, koran, dan tabloid.

Sumber belajarnya dari buku, dari radio, dari kajian-kajian. Dari kajian-kajian keislaman terutama kalau untuk masalah yang paling penting itu. Ya iya dari kajian-kajian, dari radio-radio. Trus buku, majalah, ya sejauh ini sih. Oh, dari internet juga kadang-kadang. Oh iya itu juga seminar pendidikan. Kursus belum. Iya, milis. Kawan palingan, sharing diskusi sama temen. Yang juga pada kebingungan gitu, untuk kasih pendidikan ke anaknya. Ngelihat fakta dilingkungan. Kecewa sama sekolah gitu-gitu deh.” (EVR)

Televisi, buku, internet, kawan, koran, tabloid. (EVR – kuisioner)

Apa yang dialami oleh EVR bukanlah memutuskan untuk memilih HS (belajar di rumah) tapi memutuskan untuk mengikuti wacana HS dan memaknai (sense-making) istilah dan filosofinya.

4.1.6. Informan DIS

DIS adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang penulis dan junalis. DIS memang dikenal sebagai seorang aktifis da`wah yang mempunyai banyak kesibukan. Tanggal 7 Mei lalu DIS meluncurkan rubrik HS di majalah udara yang beliau pimpin. Beliau sendiri pula yang menjadi pengasuhnya. Sesekali beliau menulis buku tentang pendidikan dan keluarga. Di lain waktu beliau menulis artikel politik dan memproduksi VCD keislaman. Beliau juga termasuk salahsatu tim penyusun kurikulum di komunitas HS di Bogor. Demikian banyak aktivitas DIS, tapi beliau tetap menganggap tugas utamanya dirumah.

“Saya ibu rumahtangga. Saya kebetulan juga penulis, jurnalis, kemudian juga banyak terlibat kegiatan-kegiatan media massa. Jadi sebetulnya juga bukan orang yang selalu dirumah... Tetapi saya merasa tugas utamanya yang dirumah.” (DIS)

Menurut DIS, tugas seorang ibu yang paling utama adalah dirumah. Termasuk didalamnya tugas mendidik anak.

“Kalau kita berbicara Al-Mar`atu ro`yatu ala bayti ba`liha wa waladihi. Kan, ‘Perempuan itu adalah penanggungjawab urusan rumahtangga suaminya dan anak-anaknya’. Disitulah nanti kemudian manajeman urusan rumah itu ada pada istri.... Tetapi pengaturan sehinga seluruh keperluan anggota keluarga terlayani itu urusan ibu. Termasuk juga ini ‘wa waladihi’ dan anak-anaknya. Kategori anak-anak ini adalah anak-anak kecil. Karena memang, itu adalah tugas umumah bagi seorang wanita ketika dia memiliki anak.” (DIS)

“Tentu bagi seorang ibu dia tidak akan memilih pekerjaan yang menyita waktunya. Karena dia tetap harus memperhatikan urusan rumahtangga. Urusan keluarga, mulai katakan kalau anak itu katakanlah mulai dari dia hamil, melahirkan, menyusui, kemudian merawat sampai mendidik anak usia dini. Nah, dalam pendidikan anak usia dini inilah sebetulnya ibu itu tidak dominan berada di luar. Kalau pun dia memiliki aktifitas lain di luar, itu tidak menyita waktunya.” (DIS)

Tugas mendidik anak ini bukan hanya tugas sosial, akan tetapi tanggungjawab yang akan dimintai pertanggunganjawab oleh Allah.

“Bagaimana pun Islam itu kan minta pertanggungjawaban kepada orangtua, di akhirat ya. Allah tidak akan meminta pertanggungjawaban sekolah formal, tidak meminta tanggungjawab guru. Allah akan minta pertanggungjawaban orangtua. Nah ini yang membuat, bagi saya idealnya sebuah HS itu ada keterlibatan orang tua.” (DIS)

Meskipun pendidikan anak adalah tanggungjawab orangtua, bukan berarti orangtua tidak boleh/bisa menyekolahkan anak. Dalam masalah pengajaran, menurut DIS bisa saja diserahkan kepada oranglain. Tapi tetap harus diawasi.

“Ini memang ada yang namanya, dia bisa mendatangkan tutor atau guru, yang bisa mengisi kekurangan waktu yang disediakan oleh orangtua. Ini kalau memang orangtua menginginkan target ideal ya. Nah, tetapi dalam keseluruhan pendidikan, itu orangtua memantau. Sehingga tutor ini juga dalam panduan orangtua. Karena dia hanya semata-mata menggantikan tugas orangtua.” (DIS)

Selain itu, DIS juga masih menyekolahkan anaknya yang pertama di SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu). Alasannya karena sudah terlanjur menjalani sekolah, sedangkan untuk mengeluarkan anaknya dari sekolah atau beralih ke HS harus kurikulum dan modul pengganti. DIS belum menyiapkan hal itu.

“Sementara anak saya yang petama kelas 3 SD itu masih saya sekolahkan di SDIT. Karena memang dia disana sudah mengalami satu proses yang mau tidak mau saya pikir itu berjalan dulu. Karena untuk menarik ke HS, berarti kan saya harus menyusun secara rinci modul sampai kelas 3. Nah itu belum sempurna.” (DIS)

Dalam pandangan DIS, lingkungan sekolah secara umum arus liberalisme dan materialistisnya sangat besar. Kemudian DIS memandang kurikulum disekolah formal tidak jelas dalam pencapaian target lulusan. Inilah alasan mengapa DIS pada akhirnya memilih HS.

“Saya melihat dari sisi kondisi lingkungan yang ada pada sekolah-sekolah yang ada sekarang. Kalau Sekolah negeri itu arus liberalisasinya. Kondisi, baik gaya hidup nanti pengaruhnya ke anak. Atau arus materialistisnya, arus bahasa dan sebagainya. Yang jelas ini semua saya melihat sisi arus liberalisasinya, kalau di sekolah umum itu sangat besar.” (DIS)

“Ini yang membuat akhirnya saya melihat ada kelemahan2 dari sisi kurikulum yang ada sekarang. Sehingga saya memutuskan untuk tidak menyekolahkan anak saya secara formal. Tetapi saya lebih memilih kurikulum yang saya ambil sendiri ya bersama komunitas nanti; Komunitas HS. Kebetulan saya termasuk tim penyusun kurikulumnya. Yang itu mengacu pada target2 yang kami inginkan tentang anak. Hendak seperti apa kondisi anak yang kami inginkan.” (DIS)

“Jadi alasan ke HS, lebih kepada ketidakpercayaan pada kondisi lingkungan yang ada sekarang, lingkungan sekolah formal dan juga kurikulum serta sistem pendidikan yang ada. Yang ini tidak sesuai dengan harapan saya inginkan, ketika anak ini nanti lulus SD.” (DIS)

Sementara itu menurut DIS orangtua yang menyekolahkan anaknya cenderung hanya berorientasi pada ijazah. Sedang DIS menginginkan kompetensi tertentu untuk anaknya.

“Nah memang kecenderungan orangtua memilih sekolah formal itu kan semata-mata karena ijazah. Sementara saya lebih menginginkan kompetensi, bukan ijazah. Pilihan itu yang membuat, ketika sekolah tidak menghadirkan atau tidak mampu memberikan kompetensi anak didik sesuai yang saya harapkan.” (DIS)

Keinginan DIS yang tidak ditemui di sekolah menjadi sebuah ‘jurang’ yang harus ‘dijembatani’. DIS menginginkan kompetensi tertentu dari pendidikan dasar. Kemudian tidak ingin anaknya tercemar bahaya liberalisme yang ada di lngkungan sekolah. Akhirnya DIS membutuhkan informasi tentang kurikulum dan teknik penyusunan modulnya. Selain itu DIS juga membutuhkan informasi tentang lingkungan.

“Dan, dia bisa memilih kurikulum yang sesuai diinginkan tanpa terikat oleh Diknas.” (DIS)

“Yang pertama memang, di harus...seorang ibu ini ketika memilih HS, dia memahami bagaimana seorang muslim itu terbentuk secara kepribadiannya, karakternya. Artinya dia harus mendapatkan informasi tentang keislaman secara memadai... Secara khusus bagaimana Alquran menjadi pola pikir dan pola sikap dia....Sunnah dan sebagainya. Kemudian itu yang pertama, karena nanti kita melihat Kurikulum mendasar dalam HS itu adalah Alquran. Alquran dan bahasa. Tahfidzul Quran dan bahasa ya aplikasinya. Sehingga informasi tentang alquran ini dia harus tahu.” (DIS)

“Kemudian yang kedua dia harus memahami, bagaimana kondisi yang ada di masayarakat. Kondisi lingkungannya. Arus liberalisasi bagaimana. Ya, tentang lingkungan. Sehingga akhirnya dia tahu bahwa lingkungan itu ternyata ada pengaruh yang tidak baik bagi anak. Kan dia harus tau wawasan itu. Dia juga harus tahu, misalnya kondisi bagimana sistem pendidikan sekarang, bagaimana sistem pergaulan sekarang. Nah itu, dari sisi itu.” (DIS)

Sumber informasi untuk itu semua menurut DIS hanya dari internet, teman, buku, dan kelompok pengajian.

“Entah dengan belajar, membaca buku, atau dalam kelompok-kelompok pengajian.” (DIS)

“Oh ya, kita lewat internet aja. Disitukan nanti ada. Pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi. Dan kemudian dari Komunitas HS ada orangtua yang juga di Pendidikan Tinggi.” (DIS)

4.2. SITUASI AWAL

Situasi awal dalam analisis ini adalah keadaan para Orangtua sebelum memutuskan untuk memilih HS. Situasi ini berupa pemahaman, latarbelakang, profesi, dan hambatan. Berikut ini adalah analisis terhadap data situasi awal para orangtua yang memilih HS secara umum:

4.2.1. Latarbelakang (pendidikan dan profesi):

Latarbelakang Pendidikan. Para informan adalah lulusan pendidikan tinggi (YAK, NEL, HEH, SUA, DIS) kecuali EVR. 5 (lima) informan penelitian ini adalah lulusan perguruan tinggi. YAK adalah Sarjana llmu Pendidikan. NEL adalah Sarjana Antropologi dari UNPAD. HEH adalah Sarjana Sastra Indonesia. SUA adalah Sarjana Hukum dari Univ. Jember. DIS adalah Sarjana Kimia dari IPB.

Menurut DIS, keputusan untuk ber-homeschooling memang merupakan pilihan bagi orangtua yang berpendidikan tinggi, berani dan percara diri.

“...Kemudian secara pendidikan juga lemah, mereka takut untuk melakukan HS. Karena mereka lebih merasa bahwa lebih aman di sekolah formal, tanpa mereka menyadari apa yang terjadi di sekolah formal itu.” (DIS)

“Nah, barang kali karena komunitas ini juga terdiri ibu-ibu yang berasal dari perguruan tinggi ya. Dan sampai jenjang S3. Bahkan dia terjun di pendidikan tinggi sendiri.” (DIS)

“Ya itu mungkin karena orangtuanya PeDe-PeDe (percaya diri) semua ya. Dan akhirnya orang-orang selama ini melihat; Oh dia itu HS karena Ibunya memang pintar gitu. Artinya kalau disekolahkan di umum belum tentu jadi pintar. Ibu-ibu ini memang berpendidikan sehingga mereka ingin sendiri mendidik anaknya. Itu yang saya terima selama ini. Jadi tidak ada cemoohan dan sebagainya. Saya melihat karena ini pilihan orang-orang yang memiliki rasa percaya tinggi. Jadi nggak masalah gitu.”(DIS)

Kemudian menurut DIS juga, HS adalah pilihan orang-orang yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Orangtua yang berpendidikan tinggi cenderung lebih percaya diri jika dibandingkan orang yang pendidikannya rendah. Mereka yang pendidikannya rendah dan kurang percaya diri cenderung memilih pendidikan yang ‘aman’.

Latarbelakang Profesi. Tidak ada seorang informan pun yang berprofesi sebagai karyawan atau pegawai negeri. YAK adalah pengurus komunitas HS yang sebelumnya pernah mengajar di sekolah swasta. NEL adalah aktifis LSM Anak&Perempuan. HEH adalah konsultan pendidikan dan event organizer. SUA adalah seorang enterpreneur di berbagai bidang. EVR seorang ibu rumah tangga yang suaminya adalah pedagang buku dan penulis lepas. DIS adalah penulis dan jurnalis. Jika dilihat dari profesi secara umum para Informan bukan tipe pegawai atau karyawan. Seperti yang dituturkan Informan SUA,

“Kemudian saya juga karena tidak tertarik menjadi karyawan gitu ya. Apalagi Pegawai Negeri, sangat tidak tertarik sekali. Kemudian saya banyak bergaul dengan orang-orang yang menggeluti wirausaha. Orang-orang yang bekecimpung dan semangat wirausahanya tinggi. Dari situlah akhirnya saya mendapatkan pemikiran mendapatkan masukan-masukan.” (SUA)

Pilihan untuk ber-HS juga memang sesuai dengan profesi Orangtua atau pihak yang bertanggungjawab terhadap pendidikan seorang anak (homeschooler).

“Tentu bagi seorang ibu dia tidak akan memilih pekerjaan yang menyita waktunya. Karena dia tetap harus memperhatikan urusan rumahtangga. Urusan keluarga, mulai katakan .... sampai mendidik anak usia dini. Nah, dalam pendidikan anak usia dini inilah sebetulnya ibu itu tidak dominan berada di luar. Kalau pun dia memiliki aktifitas lain di luar, itu tidak menyita waktunya.” (DIS)

Sangat jelas bahwa perhatian Orangtua terhadap anak bergantung kepada kehadiran orangtua dirumah (profesi). Yang dimaksud kehadiran disini bukan sekedar hadir secara fisik (jasad). Kehadiran harus disertai kehadiran hati dalam bentuk cinta dan perhatian. Kemudian kehadiran juga harus disertai ilmu. Artinya Orangtua hadir dalam mendidik anaknya. Orangtua harus memahami HS dan mempunyai sesuatu yang mendorongnya untuk mau mengajari anaknya. Dan ini sangat terkait dengan profesi Orangtua.

“Untuk mendidik anak, yang saya tahu masih dalam jalur batas apa pengalaman saya mengajar di sekolah fullday school, islamic fullday school. Saya juga bisa menerapin itu dirumah gitu. Bener2 fullday dirumah...” (YAK)

“Tapi saya tahu konsepnya. Saya tahu kurikulumnya. Ya jadi saya ajarin aja.” (YAK)

“Karena saya udah punya, kalau saya bilang punya ilmunya. Saya punya ilmunya, saya punya pengalamannya. Saya tahu kurikulumnya. Beda dengan ibu-ibu yang sekarang.” (YAK)

“Sebenarnya kan HS itu wacana yang sudah lama saya kenal. Karena sebelumnya juga saya aktifis LSM Anak.” (NEL)

“Karena saya juga kan kebetulan konsultan lah ya jadinya. Jadi banyak orang yang kemudian membawa masalah, bercerita tentang kasus-kasus anaknya yang dialami di sekolah.” (HEH)

“Kemudian saya banyak bergaul dengan orang-orang yang menggeluti wirausaha. Orang-orang yang bekecimpung dan semangat wirausahanya tinggi. Dari situlah akhirnya saya mendapatkan pemikiran mendapatkan masukan-masukan. Ternyata ijazah yang menjadi simbol-simbol seseorang itu mempunyai strata tertentu, itu ternyata tidak dominan gitu, tidak menentukan.” (SUA)

“Tetapi saya merasa tugas utamanya yang dirumah” (DIS)

4.2.2. Pandangan

Pandangan tentang fakta sosial dan sistem pendidikan sangat mempengaruhi pilihan hidup seseorang. Para Orangtua dalam hal ini memiliki penilaian negatif terhadap fakta sosial pendidikan dan sistem pendidikan (formal) yang ada. Bagi mereka tidak mungkin untuk menyekolahkan anak mereka, sedangkan mereka mampu ‘hadir’ di rumah[1].

Fakta sosial yang buruk dalam bidang pendidikan dapat kita lihat dari penuturan Informan YAK dan DIS.

Jadi kan kita tahu pendidikan itu terutama di kota-kota besar, semakin bagus, semakin mahal.. Trus saya melihat juga, sekolah itu lebih banyak aksesoris dari pada inti belajar mengajar seperti apa sih.(YAK)

“Saya melihat dari sisi kondisi lingkungan yang ada pada sekolah-sekolah yang ada sekarang. Kalau Sekolah negeri itu arus liberalisasinya. Kondisi, baik gaya hidup nanti pengaruhnya ke anak. Atau arus materialistisnya, arus bahasa dan sebagainya. Yang jelas ini semua saya melihat sisi arus liberalisasinya, kalau di sekolah umum itu sangat besar.” (DIS)

“Di SDIT pun karena juga sistemnya tidak semua orangtua mungkin yang menyekolahkan anaknya disana punya cara pandang yang sama ya tentang pendidikan anak. Sehingga kondisi anak-anak mereka itu juga tidak seragam. Sehingga ada juga sisi pengaruh-pengaruh masuk dari luar sekolah yang masuk melalui anak-anak ini, termasuk juga gaya hidup, bahasa dlsb...” (DIS)

Semua informan memandang sistem pendidikan di Indonesia kurang baik atau tidak sesuai dengan konsepsi pendidikan mereka. Menurut YAK, hanya 20% yang berguna. Menurut NEL tidak mendukung the right man in the right place dan tidak menggali potensi anak. Menurut HEH tidak mampu menghasilkan pemimpin yang handal, hanya menghasilkan anak rata-rata. Menurut SUA, tidak membekali anak dengan problem solving kehidupan. Menurut EVR, capek dan tidak mendidik. Menurut DIS, hanya menginginkan ijazah, tidak memiliki kompetensi.

“Toh dalam kehidupan nanti yang dipakai hanya 20%.” (YAK)

“Sementara, di kita itu kan negaranya, kalau kita kedepan, prospeknya kedepan melihat dunia kerja tidak the right man in the right place gitu ya. Kadang-kadang kuliahnya di pertanian kok kerjanya di perbankan.” (NEL)

“Sehingga sebetulnya anak-anak kita harus dibimbing ke arah yang menjadi yang spesial dibidangnya masing-masing. Sehingga nanti dia menjadi pemimpin di bidangnya masing-masing.” (HEH)

“Kita dituntut untuk meraih nilai disemua bidang sama-sama harus bagus gitu kan. Sehingga dituntut jadi anak-anak rata-rata gitu bukan anak-anak yang spesial.” (HEH)

“Kok saya kuliah sampai seperti ini. Kok ilmunya yang saya dapatkan tidak bisa mengover tentang problem2 yang saya rasakan, yang saya hadapi.” (SUA)

“Sehingga ketika, faktanya ketika lulus itu tidak akan mendapatkan apa2. Dan siswa didik ini tidak bisa memecahkan problem kehidupannya. Yang ada hanya menambahkan problema. Contohnya, lulusan SMA mereka nganggur banyak, mungkin bisa di prosentasekan itu ya hampir 90% lah” (SUA)

“Capek. Iya pengalaman saya sekolah dulu aja. Iya aneh. Sekolah tuh Cuma kayak apa ya..Hmmm, Cuma sekolah. Jadi bukannya, bukan...gak terasa dididik.” (EVR)

“Nah memang kecenderungan orangtua memilih sekolah formal itu kan semata-mata karena ijazah. Sementara saya lebih menginginkan kompetensi, bukan ijazah. Pilihan itu yang membuat, ketika sekolah tidak menghadirkan atau tidak mampu memberikan kompetensi anak didik sesuai yang saya harapkan. Dan tidak ada satu sekolah pun yang seperti yang saya bayangkan ya.” (DIS)

4.2.3. Hambatan :

Pada umumnya tidak ada hambatan dalam pencarian informasi. Para orangtuan rata-rata memiliki keterampilan dalam menggunakan teknologi dalam mencari informasi, kecuali sebagiannya. Mereka yang tidak memiliki keterampilan dalam penggunaan teknologi akan menunjukkan perilaku tertentu dalam menghadapi hambatan ini. Hal ini seperti yang dialami oleh Informan SUA. Beliau menyadari keterbatasannya dalam penggunaan internet dan bahasa. Akan tetapi SUA menjadikannya pelajaran yang berharga, dan memotivasi untuk mendidik anaknya. SUA menunjukkan perilaku tertentu untuk mendapatkan informasi dalam menghadapi hambatan ini.

“Hambatan terbesar saya yang saya rasakan ini, ketika mencari informasi, ya alat itu! Alat itu bahasa. Saya termasuk orang yang gak bisa bahasa inggris, saya juga tidak bisa bahasa arab.” (SUA)

“Yang kedua, problemnya adalah IT. Saya tidak bisa memanfaatkan perkembangan IT yang ada pada zaman sekarang ini. Untuk akses internet, untuk membuat web, untuk browser kemana-mana, atau mungkin sekedar download saja, itu saya gak ngerti. Dan itu jadi problem.” (SUA)

“...Oleh karena ini, problem inilah yang tidak boleh lagi terjadi pada anak saya. Makanya dalam hal pendidikan ini, saya arahkan kesana...” (SUA)

“Ketika saya misalnya tidak bisa mengakses informasi itu dengan baik karena terkendala misalnya bahasa. Ya emang tidak bisa berbuat apa-apa, kalau untuk saya pribadi.” (SUA)

4.3. Kebutuhan Informasi

Kebutuhan informasi dalam unit analisis ini mencakup pertanyaan dan masalah yang ada didalam diri Informan. Kebutuhan dapat dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor. Wersig (dalam Pendit, 2003: 126) menyatakan bahwa kebutuhan informasi seseorang didasarkan pada sebuah gambaran tentang lingkungan, pengetahuan, situasi dan tujuan yang ada dalam dirinya. Menurut Belkin (dalam Suwanto: 20) perilaku pencarian informasi dapat dipengaruhi oleh bermacam-macam sebab, antara lain latar belakang, sosial budaya, pendidikan, tujuan yang ada dalam diri manusia tersebut, serta lingkungan sosialnya.

Lingkungan profesi atau peer group juga menjadi pendukung atau penguat pilihan dalam ber-HS. Teman se-profesi bisa menjadi kawan diskusi, sharing, dan inspirasi, dalam masalah yang sama. (dalam hal ini adalah masalah ber-HS)

“Kita sering diskusi. Saya sama Pak Kodrat, Pak Kodrat kan kepala sekolah NF. Jadi kita tuh jarang ketemu. Paling 6 bulan, saya ketemu 1 jam aja. Tapi itu kuat gitu.” (YAK)

“Saya juga dengan beberapa teman pernah mendiskusikan sistem pendidikan di Indonesia. Bagaimana proses belajar mengajar, dengan kurikulum yang melelahkan, dan sebagainya.” (NEL)

Sesama Orangtua homeschooler pun, bisa saja dianggap satu profesi.

“Dengan orangtua-orangtua Homeschooler. Jadi, saya banyak ketemu homeschooler. Saya bertanya mereka...” (NEL)

“Dari dari teman suka. Ngasih tahu. Suami tuh yang rajin ikutan milis. Tapi di kantor, di print dibawa, nih Bu. Banyak lah informasi sebetulnya.” (HEH)

Dalam konteks Orangtua sebagai profesi, maka suami adalah peer group dari istrinya. Seperti yang ada dalam pernyataan Informan HEH. Demikian juga apa yang diutarakan oleh Informan NEL ketika akan memutuskan untuk HS.

Dan sama suami pastinya. Iya, dukungan pasangan dong. Itu kan keputusan untuk HS itu bukan hanya saya. Walaupun saya aktifis anak. Tapi keputusan bersama, antara saya, anaknya, sama suami saya.(NEL)

Kebutuhan dalam bentuk masalah pun, dipengaruhi oleh profesi. Masing-masing profesi memiliki masalah yang khusus dan berbeda titik tekannya. Dari masalah itu, muncul kebutuhan. Berikut ini masalah masing-masing Informan berdasarkan profesinya:

· YAK seorang Guru dan kini pengurus komunitas HS, membutuhkan informasi legalitas untuk anaknya dan orang lain (anggota komunitas)

· NEL seorang aktifis LSM membutuhkan info tentang legalitas karena tidak ingin kepastian tentang masa depan. NEL merasa berdosa jika tidak mengembangkan potensi anaknya. Bagi NEL yang seorang aktifis Anak, setiap anak memiliki hak yang harus dipenuhi. Dalam hal ini hak untuk enjoy dan tidak tersiksa.

· HEH seorang konsultan harus lebih banyak dan lengkap. Karena beliau tempat oranglain bertanya dan mencari solusi.

· SUA membutuhkan informasi tentang motivasi untuk menyelesaikan problem hidupnya..

· EVA membutuhkan informasi tentang pengajaran aqidah dan akhlak.

· DIS karena terlibat dalam tim penyusun kurikulum Komuntas HS, membutuhkan informasi tentang kurikulum.

Kebutuhan informasi dipengaruhi juga oleh faktor agama. Ada banyak masalah keagamaan yang terkait dengan pendidikan. Mulai dari konseps pendidikan, metode pengajaran, bahan ajar, bahan rujukan hingga ke teknik belajar-mengajar.

“Lho, dia kan bukan muslim, kenapa dia pakai sistem halaqoh gitu? Trus orangtua murid ke Arab Saudi. Disana mesjid adalah sekolah. Jadi, halaqoh-halaqoh gitu kan.” (YAK)

“Malah konsep Islam malah dipakai non-islam, kesatu. Terus kedua, mulai kepikiran siapa ya yang mau memikirkan saudara2 kita yang muslim. Yang memang Alloh sudah kasih rezekinya sampai situ aja.” (YAK)

“Saya merasa berdosa saja. Bahwa anak-anak kan punya banyak apa namanya potensi. Tidak semua anak itu potensinya sama. Pasti berbeda-beda.” (NEL)

“Iya, karena saya pikir.. Allah itu kan sudah menganugerahkan potensi pada setiap orang itu berbeda-beda.” (NEL)

“Saya sih lebih ke, bagaimana Rasulullah di bukunya 60 Karakter Sahabat Nabi.” (HEH)

“Setiap anak itu adalah kalau dari Islam itu kan khalifah ya.. Setiap manusia itu diturunkan sebagai khalifah di muka bumi. Khalifah itu sendiri saya terjemahkan sebagai, bahwa kita semua itu menjadi orang-orang yang nanti kelak akan diposisikan menjadi pemimpin-pemimpin di bidangnya masing-masing.... Sehingga sebetulnya anak-anak kita harus dibimbing ke arah yang menjadi yang spesial dibidangnya masing-masing. Sehingga nanti dia menjadi pemimpin di bidangnya masing-masing.” (HEH)

“Tetapi untuk memunculkan pemikiran-pemikiran seperti ini saya banyak di warnai dari kajian-kajian, dari buku tentang keislaman dan tokoh-tokoh pemain pada zaman kejayaan islam itu.” (SUA)

“Kemudian solusi-solusi apa yang harus dia ketahui. Dan ini hanya bisa dipelajari yaitu dengan belajar agama.” (SUA)

“Kalau pendidikan yang lain-lainnya misalnya aqidah gitu-gitu. Itu ya kita cari juga. Trus gimana... Apa ya... Untuk seusianya harusnya gimana... Kasih pendidikan akhlaq. Apa ya… ya gitu deh…” (EVR)

“Dari kajian-kajian keislaman terutama kalau untuk masalah yang paling penting itu.” (EVR)

“...dia memahami bagaimana seorang muslim itu terbentuk secara kepribadiannya, karakternya. Artinya dia harus mendapatkan informasi tentang keislaman secara memadai...” (DIS)

“Entah dengan belajar, membaca buku, atau dalam kelompok-kelompok pengajian. Secara khusus bagaimana Al-Quran menjadi pola pikir dan pola sikap dia....Sunnah dan sebagainya.” (DIS)

“Bagaimana pun Islam itu kan minta pertanggungjawaban kepada orangtua, di akhirat ya. Allah tidak akan meminta pertanggungjawaban sekolah formal, tidak meminta tanggungjawab guru. Allah akan minta pertanggungjawaban orangtua.” (DIS)

4.4. Sense-Making dan Unsense-Making

Informasi digunakan untuk memaknai sesuatu. Orangtua membangun pengertian (sense making) dari kebutuhan yang mereka alami.

Menurut Dervin dalam Suwanto (1997: 19), informasi dapat digunakan untuk keperluan:

  • Untuk mendapatkan ide, pengertian atau gambaran agar dapat melintasi ruang dan waktu
  • Untuk mendapatkan kemampuan dan keterampilan (skills).
  • Agar termotivasi, dapat memulai suatu pekerjaan atau mulai belajar.
  • Agar dapat membuat situasi lebih baik, atau lebih tenang.
  • Agar dapat merasa senang, puas dan rileks.

4.4.1. Memahami perbedaan dan potensi anak.

Hal ini selaras dengan pandangan umum Orangtua HS yang menyatakan, “Setiap anak dilahirkan memiliki potensi yang berbeda-beda.” Demikian seperti yang diutarakan oleh NEL. Pendapat NEL dan HEH dalam hal ini hampir serupa. Menurut pengakuan HEH, NEL mendapat pengaruh dari dirinya. Meskipun belakang HEH meragukan kembali pernyataannya. Terlepas dari hal benar tidaknya pengakuan HEH, hal ini menunjukan keumuman pendapat para Orangtua tentang pengakuan kekhususan karakter dan potensi anak.

4.4.2. Gagasan Menanggulangi Hambatan

“Karena pada saat ini saya ini termasuk yang gatek (gagap teknologi) internet gitu. Sehingga betapa tidak berdayanya, betapa saya sangat ketinggalan gitu ya dengan generasi baru ini yang sudah menguasai dunia internet. Ini juga salahsatu yang memotivasi saya, yang melandasi saya untuk memunculkan pikiran anak saya gak boleh sekolah di sekolah-sekolahan formal yang hanya seperti itu sekarang. Lebih baik saya didik sendiri, saya fasilitasi sendiri untuk menguasai alat, yang di saat yang akan datang; pasti bergunanya. Jadi kita memberikan ilmu yang memang nanti bisa diterapkan. Bukan hanya stample ijazah saja.” (SUA)

4.4.3. Hikmah Dari Pengalaman

4.4.4. Memposisikan Sekolah



[1] Soal kehadiran dijelaskan pada Unit Analisis Profesi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar